Jumat, 31 Januari 2014

Cerita Remaja - Hadiah dari Langit



Hadiah dari Langit
Roudlotul Dzihni
MAN Tambakberas Jombang
Andai hidup hanya bermodalkan setangkai mawar untuk memarodikan lencana kehidupan, pasti akan banyak darah tercecer dari duri mawar itu. Andai hidup menawarkan esensial untuk saling menebarkan kebaikan, tak akan ada raungan hati yang merumuskan material kesedihan.
***
 “Mas itu egois, nggak pernah mau mikirin keluarga. Pergi malam, pulang malam. Aku sudah capek Mas!”
Celotehan Ibu rupanya langsung merangkak sampai oktaf ke delapan. Mata Ayah yang beringas kian menunjukkan murkanya pada wanita berkaca mata itu.
“Dasar wanita tak tahu diuntung. Kurang apa aku selama ini menafkahi kau dan anakmu itu. Apa itu tidak cukup membuatmu puas?”
 Ayah pun tak kalah murkanya dengan Ibu. Sebuah tamparan keras sepertinya mendarat di pipi ibu yang mulus. Bau arak masih terasa kental di mulut ayah.
Ayah memang bukan seorang pekerja kasaran seperti kebanyakan pemabuk lainnya. Ayah adalah seorang direktur sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Aku menyayanginya. Sejak dua bulan lalu ayahku berubah drastis. Ayahku menjadi seorang pemabuk. Sering keluar malam. Tak pernah mencium pipiku. Tak pernah menanyakan bagaimana skripsiku. Aku rindu ayah yang dulu.
Sambil memegangi pipinya yang kesakitan, sebuah kalimat mengejutkan keluar dari bibir manis ibu.
“Ceraikan aku!”
Kalimat itu cukup membuat semuanya jelas. Ibu menghamburkan semuanya. Kini ibu telah naik ke tangga yang paling klimaks. Aku tahu ibu, sekali naik, mustahil rasanya untuk kembali meluncur ke dasar. Itu berarti, kalimat itu, tak mungkin ibu cabut.
Mata ayah yang beringas, walaupun tak ditunjukkan secara penuh, aku tahu bahwa ia kaget mendengar permintaan ibu yang satu ini. Namun, aku juga tahu ayah. Harga dirilah yang paling diutamakan.
“Kalau itu yang kamu inginkan, baik. Aku ceraikan kamu. Aku ceraikan kamu. Aku ceraikan kamu.”
 Ayah tak mau harga dirinya sebagai lelaki terlecehkan. Talak tiga telah jatuh. Secara hukum Indonesia mereka memang belum sah bercerai. Namun, bagaimana dengan hukum agama? Sekarang, mereka sudah menjadi orang lain.
Kali ini aku mempercayai satu hal. Satu kalimat yang membukakan cakrawala aurora batinku. Melapangkan zenith dan nadir yang selama ini bersembunyi di atas nirwana. Meruntuhkan dalil almanak yang tak lagi bersorban.
Ya, hidup memang tak sekompleks teori Darwin.
***
Halimun pagi masih menunjukkan semburat merahnya. Sang Jago masih mengais makanan untuk sekadar mendapatkan cemilan di pagi yang masih buta. Aku tak mau kalah dengan ayam. Mata yang masih memohon untuk terpejam, kupaksa untuk terbuka. Sepucuk surat terlihat menggantung di almari Spongebob ku. Aku pun mendekatinya.
“Surat dari ibu? Ibu ada-ada saja,” gumamku sambil setengah sadar.
Maafkan ibu nak. Ibu harus pergi. Kamu baik-baik dengan ayah, di rumah.
Apa-apaan ini? Inikah jawaban dari pertengkaran hebat tadi malam?. Dengan mengorbankanku tanpa status. Membiarkanku teronta-ronta. Ibu, kau jahat kali ini. Ayah, kau egois. Aku membenci hari ini. Tapi, bagaimanapun aku membenci hari ini, aku harus menuntaskan kewajibanku. Pagi ini, masa depan akan aku tentukan. Sebuah semangatlah yang aku butuhkan kali ini. Percaya pada kemampuan yang harus ku lakukan. Ya, aku akan skripsi hari ini.
Kalau sudah begini, di dada siapa aku bisa menaruh rasa bangga. Haruskah aku memeluk embun pagi ini sebagaimana ia memeluk daun cemara yang kian merunduk?.
***
          Akan kutunjukkan padamu bagaimana kesuksesanku kali ini.
Great. Excellent”
Kudapati  dua kata yang selama ini kuharapakan. Sang pengujiku berkata demikian karena menganggap semua makalahku hebat. Seorang lelaki muda berhidung mancung berdiri di samping pengujiku. Mungkin ia asistennya. Di balik kegiranganku, aku kagum dengan sosok di depanku itu. Dia muda, tampan, berbakat.
“Ra, aku dapet excellent skripsiku kali ini. Aku seneng banget nih Ra”
 Sebuah lonjakan kegirangan kutunjukkan kepada sahabatku, Ayra.
“Waw.. kau hebat Milza, sepanjang sejarah di Fakultas Sastra jarang lho yang bisa dapet Great.”
 Ayra menunjukkan rasa bangganya kepadaku. Pastinya ditemani snack keju yang setia menemaninya sepanjang waktu.
***
Kring.. Kring..” sebuah nomor tak ku kenal memanggil. 085730645xxx. Aku mengangkatnya. Belum sempat bicara sepatah kata pun, suara seorang lelaki menggaung merdu.
“Selamat ya atas keberhasilanmu, Milza. Aku telah melihat makalahmu. Menakjubkan. ”
Tut… Tut… Tut…
Tanpa permisi suara itu menghilang. Aku bingung. Dia menyebut Milza, namaku. Dia bilang telah melihat makalahku. Itu berarti, dia adalah pengujiku atau asisten pengujiku. Namun, tidak mungkin itu terjadi. Mana mungkin seorang penguji bisa menelepon mahasiswanya? Mungkin, tadi hanya orang iseng.
Sesampainya di kantin. Aku bercerita kepada Ayra. Penelepon misterius.
 “Misterius bagaimana Za?” sahutnya dengan menyeruput es kelapa muda di depannya.
“Iya, misterius. Dia tahu namaku. Dia juga mengatakan kalau makalahku menakjubkan. Sungguh aneh.”

Aku pun kemudian menceritakan tentang asisten pengujiku. Ayra penasaran dengan semua ini. Ia akan menyelidiki kasusku. Gayanya bak Sherlock Homes yang kehausan mencari mangsa atau kisah film gadis cantik, Nancy Drew yang tak pernah kehabisan ide-ide brilian untuk mengungkap kasus.
Ayra bukan salah satu dari keduanya. Sama sekali bukan. Bahkan, ia terlihat seperti monster wanita yang menginginkan tumbal lelaki tampan setelah aku menceritakan lelaki itu kepadanya. Ayra memang payah. Satu lagi yang harus kau ketahui, dia tak mungkin serajin itu. Dengan gayanya yang sok menyelidiku kasusku, mungkin dia mulai merengek untuk membujukku membelikan Pop Corn untuknya.
***
Sebuah pesan singkat masuk di telepon gengamku.
Jika kamu ingin tahu aku, temui aku di taman pukul tiga sore hari ini.
Keringat dingin mengucur dengan derasnya. Nomor yang tertera pada pesan singkat itu sama dengan seseorang misterius yang menelponku waktu itu. Sebuah ironi yang mengoyak asa dalam intensitas tinggi. Bak Dewa Neptunus yang turun ke Nadir kutub utara. Gila. Namun, jika aku ingin mengetahui orangnya. Aku harus menemuinya..
***
Langkah sok tenang aku terapkan kali ini. Sosok bayangan yang duduk di bangku taman memaksa naluriku untuk menemuinya. Dari kejauhan, aku seperti mengenalnya. Seseorang yang tidak asing lagi. Tidak salah lagi. Dialah sosok yang kuduga sebagai asisten pengujiku itu. Mungkinkah itu dia yang mengundangku kemari?. Aku mendekatinya. Tapi tidak sampai aku berkata apapun, dia menyapaku terlebih dahulu.
“Assalamualaikum!”
 Sebuah senyuman menenangkan nan menghanyutkan hadir dalam bibir tipisnya. Lekukan wajah yang ikhlas kian membuatnya memesona.
Waalaikumsalam!”
Aku membalas dengan senyuman pula. Sebuah keheningan terjadi beberapa saat. Perasaan yang tak kupunyai sebelumnya, kini hadir begitu saja tanpa persetujuanku. Ketika aku memandanag wajahnya, bak elektromagnetik yang menyeruak di selubung hatiku. Bak Hukum Boyle yang menentang teori reformasi. Bak Archimedes dengan angkuhnya membenarkan diri. Aku benar-benar terhanyut di tangga pelangi. Benar-benar menyilami Sungai Nil.
Tuhan, akankah engkau marah jika aku memiliki perasaan yang tak seharusnya. Apakah aku berdosa jika aku mengagumi sosok di depanku ini. Tuhan aku ingin kau menghancurkan lantai waktu. Membuat segalanya lebih indah.
“Milza. Sudah datang dari tadi ya?” dia bertanya dengan santai.
“Tidak, ini baru saja datang. Oh ya Pak, Bapak sedang apa di sini?” sahutku dengan gaya formal yang kian membuatku geli.
“Ini ada titipan dari ayah. Maksudku dosen pengujimu,” tukasnya sembari menyodorkan amplop coklat kepadaku.
“Dosen pengujiku adalah ayahmu?” tanyaku kaget.
Ia mengangguk sambil tersenyum. Ada debaran di hatiku saat melihat senyum itu.
Sebuah kepalan optimistis refleks kulakukan. Kami memperbincangkan banyak hal kali ini. Ia pun memperkenalkan namanya. Farhan. Entah ada hukum apa yang membuat kami serasa sudah mengenal lama. Mungkin Farhan orang yang mudah bergaul. Sebuah getaran beramplitudo tinggi merayap dengan Archimedes yang angkuh. Aku terheran ketika bertemu orangnya. Aku mengingat kembali kalimat-kalimat dalam pesannya. Ia terlihat begitu puitis. Akan tetapi, tak sedikit pun kesan itu terlihat tatkala aku berbincang dengannya. Bahkan, ia terlihat sangat humoris. Dasar lelaki aneh. Dia seakan mempunyai dua sisi kepribadian.
Sebuah perkenalan yang sederhana. Mungkin bisa dilakukan oleh siapa pun. Melalui pertemuan antara dua pasang mata yang tak sengaja. Saling berpandangan walaupun dalam balutan frekuensi yang amat rendah. Bahkan bisa dikatakan  tidak berelektromagnetik sedikit pun.
Pertemuan kita waktu itu, bak menentang teori J.J. Rutherford yang menyatakan atom positif dan negatif jika bertemu akan saling tarik-menarik. Sayangnya, tak sedikit pun itu terjadi padaku kala itu. Kecuali sebuah kata kagum pada Farhan.
***
Temaram rupanya menyelimuti senja yang melankolis. Temaram yang tak bersahabat dengan senja kali ini. Dengan bermodalkan secangkir teh hangat dan sepiring pisang goreng favorit, aku duduk di balkon rumah. Bayangan ibu seakan hadir menemaniku. Membelai lembut rambutku. Menyanyikan lagu jadul Hitam Putih Foto  kesukaan ibu. Satu kebiasaan aneh yang sering kali dilakukan ibu untukku.
Foto ibu terbingkai dengan indah di kamarku. Sebuah bingkai raksasa yang dengan angkuhnya melindungi potret diri ibu yang kian menunjukkan kalau ibu adalah wanita bangsawan. Pikiranku menjalar ke masa silam. Rasa rindu telah tergali sangat dalam di ulu hatiku. Bagai kuda liar yang kian mengamuk di dera lecutan senapan. Kenangan indah tentang ibu kini hadir kian memaksaku untuk mengingatnya lebih dalam. Ibu, Milza kangen ibu. Milza ingin ibu ada disini. Sebuah aliran sungai kecil hadir di sela-sela kelopak mata yang kini makin deras. Makin lama makin deras. Kian membanjiri pipiku. Kali ini, aku membiarkannya mengalir. Tanpa ada bendungan tissue ataupun yang lain yang mampu menghalanginya.
Kubuka album biru.
Penuh debu dan usang.
….
Ohh bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku.
***
Toga telah membalut anggun diriku. Kebaya dengan elegannya melingkar manis di kaki kecilku. Aku melihat diriku di kaca. Sempurna. Aku memandangi foto ibu yang tersenyum ke arahku. Seakan ibu tahu bagaimana perasaanku kali ini. Aku berpamitan pada ibu. Meminta doanya. Ku kecup foto ibu. Sebuah aliran anak sungai bengawan solo mengalir dengan pelan.
“Milza.. ayo lah nak. Nanti kita terlambat. Ayah sudah siap ini.”
Seru ayah dengan sedikit teriak.
“Iya ayah. Tunggu sebentar,” sahutku kemudian.
Hanya seorang ayah yang menemaniku. Kini ayah bukanlah seorang pemabuk. Bukan seorang yang pulang malam. Rona muka ayah kali ini terlihat berbeda ketika turun dari mobil.
“Andai ibumu ada di sini nak!” suara ayah sedikit mendesah.
“Sudahlah ayah, Milza sudah cukup bahagia melihat ayah berubah seperti ini,” jawabku melunakkan hati ayah. Walaupun sebenarnya perasaan yang ayah miliki juga menderaku.
Tangan ayah memegang erat tanganku. Aku memahami gelagat ayah. Mungkin  ayah mencoba menguatkanku. Wisuda berlangsung lancar. Sebuah moment yang paling ditunggu-tunggu. Tidak lain adalah pengumuman wisudawan terbaik. Aku mendengar dengan seksama.
“Wisudawan terbaik dari jurusan Sastra dan Bahasa adalah….”
Suara sang MC menggelegar dengan angkuhnya.
“Milza Fithrotun Naja…”
Itu namaku. Itu namaku. Dengarlah dunia. Hari ini aku menyandang gelar wisuda. Lebih dari itu. Aku mendapat gelar wisudawan terbaik di jurusanku. Sebuah sorakan dari segala penjuru mengaung dengan indahnya. Bak rangkaian simphoni alami yang menghasilkan getar-getar semangat membara. Aku pun diminta naik ke panggung untuk menerima penghargaan.
Sebuah bingkisan berwarna coklat aku terima dari pengujiku yang tidak lain adalah ayah Farhan. Aku melihat ayah memandangiku dengan perasaan haru. Dari sorot matanya terlihat bahwa ia sangat bangga denganku. Mata ayah berkaca-kaca. Sebuah lambaian kecil mengayun dari tangannya. Aku pun membalasnya dengan lambaian kecil pula. Tak hanya itu, ia menambahkan acungan dua jempol untukku.
 “Terima kasih atas penghargaan ini. Semua ini saya persembahkan untuk ayah saya yang ada di sana.”
Ayah pun berdiri dengan matanya yang berbinar. Raut bangga begitu kentara di garis-garis wajah ayah.
“Juga untuk ibu saya yang tercinta. Semoga beliau sehat di sana,”  lanjutku dengan suara sedikit bergetar.
Aku melihat Farhan berdiri di pojok sana. Ketika mata kami saling bertemu, ia juga mengacungkan dua jempol untukku. Di tambah dengan kepalan semangat yang kian membuatku membumbung di udara dan senyuman manis yang sering kali tersungging di bibirnya. Prosesi wisuda berakhir. Sebelum masuk mobil, ayah mendekatkan mulutnya ke telingaku.
“Selamat ya nak, engkau memang paling bisa membuat ayah bangga. Terima kasih”
***
Sesampai dirumah, perasaan senang masih menyelimuti kalbu. Sebuah panggilan masuk diiringi lagu Hidup Berawal dari Mimpi karya Bondan Prakoso mengiringi panggilan itu. Nomor yang asing.
“Halo, siapa ya?”  tanyaku.
Suara isak tangis wanita menderu. Sepertinya aku kenal dengan suara ini.
“Selamat ya Nak. Kamu memang paling bisa membuat ibu bangga!”
Kalimat yang sama dengan ayah ketika ayahku memberi  selamat. Siapakah wanita ini. Perasaan gundah mulai berkecamuk. Batinku berkata lain. Aku mencoba menguatkan diri. Foto ibu yang berada tepat di depanku seakan memberikan isyarat bahwa yang berbicara adalah ibu.
“Iya terima kasih bu. Tapi apa yang membuat anda menangis seperti ini. Lalu, Anda itu siapa?”  tanyaku padanya.
“Ini ibu nak!” Deg. Benar. Inilah suara perempuan yang selama ini aku rindukan. Ibu. Kini aku berbicara dengannya. Kehangatan tutur katanya. Kesetiaan dalam menjagaku. Menentramkan jiwa yang lelah. Bertatap muka dengan sang Maha ketika aku dan ayah terlelap. Melantunkan ayat-ayat Tuhan di saat tetangga masih bermimpi. Menyiapkan bekal untukku agar tidak jajan sembarangan. Mencium keningku ketika aku akan meninggalkan rumah.
 Menunggu hingga aku pulang. Selalu mempersilahkanku untuk meminjam bahunya sejenak unutk menghilangkan dahaga. Wanita yang terkokoh ketika aku butuh sandaran hingga menghantarkanku sampai di sini.
Hening terjadi beberapa saat. Getaran-getaran kami bersatu kembali setelah lebih dari satu tahun kami tak tahu kabar. Aku sangat rindu ibu. Rindu belaian kasihnya. Lantai waktu benar-benar runtuh kali ini. Zenith dan Nadir bak tak lagi bersatu membentuk spektrum aurora. Amazon bak tak mengalir kembali. Anaconda pun seakan melilit kehilangan mangsa.
Kami pun saling melepas rasa rindu yang membara dengan isakan tangis yang semakin menderu. Kami bagai tercebur di Lubang Buaya kali ini.
Hanya tangisanlah yang mampu keluar dari mulut kami. Sebelum kami bersamaan mengucap kata.
“Aku merindukanmu!”
Aku merasa ini hadiah langit. Untukku yang masih setia memegang ajaran langit. Tidak menyerah pada hidup. Hidup yang terkadang menabur duri. Satu kata untuk selamanya. satu kata yang telah mengandung jiwa. Satu kata yang tak akan terlupa. Inilah. HIDUP
***

Cerpen Lingkungan - Mencabik Luka di Negeri Neraka



Mencabik Luka di Negeri Neraka
Oleh : Roudlotul Dzihni
MAN Tambakberas Jombang

          Langit Jogjakarta meraung bak negeri seribu angkasa. Meratapi setiap jengkal  berhasta kuda. Mendung datang bergulung-gulung seakan hendak menyapu daratan langit yang maha dahsyat luasnya. Jilatan cahaya putih silih berganti berebut menyinari daratan muka bumi yang sebenarnya tak dikehendaki kehadirannya oleh penghuni bumi. Cacing-cacing tanah bersembunyi dibalik lorong-lorong permukaan daratan bumi yang kian menunjukan kejelataannya. Jangankan Cacing, debupun seakan tak lagi punya nyali untuk beterbangan menjelajahi atmosfer bumi.
          Malam itu mencekam bagai sangkar burung hantu yang tak memperbolehkan penghuninya untuk keluar. Begitupun jua denganku,rasanya tak punya nyali walau hanya untuk sekedar menengok kondisi di luar sana. Yang bisa kulakukan hanyalah duduk di dipan tua yang telah kupakai sejak beribu-ribu hari yang lalu. Sarung coklat tua yang setia bersandar miring di pundakku seakan memberikan kesan betapa mirisnya suasana hatiku malam ini. Kupandangi wanita yang 19 tahun lalu berjuang untuk melahirkanku dengan perasaan sayang yang luar biasa kepada wanita hebat satu ini. Dialah ibuku. Kursi roda tua tempat beliau menopang hidupnya juga masih setia menemaninya. Ibuku memang lumpuh  sejak 15 tahun lalu karena tertimpa batang pohon sewaktu terjadi tanah longsor di daerahku. Tempatku memang rawan longsor. Setelah tragedi itu, ayahku tak mau lagi mengurusi kami. Dia pergi tanpa dosa meninggalkan kami.  Ayah macam apa dia yang tega meninggalkan anak dan istrinya yang termangu sendiri. Rumah kami pun tak terlalu strategis untuk dijangkau. Bagaimana tidak, rumah kami terletak di pinggiran hutan dan di kelilingi oleh sungai-sungai besar. Dulunya tempat ini memang banyak penduduknya. Akan tetapi, lama-kelamaan satu-persatu dari mereka pindah ke tempat yang lebih layak huni. Kebanyakan dari mereka membangun rumah lagi di daerah perkotaan dan pergi meninggalkan kampung halamannya yang menampung mereka sewaktu kecil. Mungkin hanya sekitar 8 kepala rumah tangga yang masih sudi untuk menempati kompleks ini,dan itupun radius sekitar 1 km dari gubukku.
          Sewaktu ayahku meninggalkan kami, aku baru berusia 5 tahun. Tahu  soal apa aku umur 5 tahun. Mungkin aku hanya anak kecil ingusan yang tak tahu dan tak mau tahu mengapa ayahku melenggang pergi. Jangankan untuk mengingat hal itu, mengingat wajahku waktu itupun aku tak ingat sama sekali. Ibuku lumpuh, ayah pergi entah dimana. Ya tuhan.... aku tak membayangkan bagaimana hidupku, hingga aku bisa mencapai usiaku kini. Bagaimana makanku, bagaimana mandiku, bagimana pakaianku. Ya tuhan, setragis itukah nasibku dulu?. Menurut cerita ibu, selama kurang lebih satu tahun, tetangga kanan kiri yang iba melihat ketragisan nasib kamilah yang kadang membantu kami walau hanya sekedar sebungkus nasi dan selembar uang seribuan.
          Malam semakin larut, tetapi mata ini seakan tak bisa terpejam walau hanya sekedar untuk mendinginkan jiwaku yang lelah. Kupaksakan mataku untuk terpejam. Dalam lelapku, aku bermimpi bertemu dengan seorang pak tua mendatangiku yang tiba-tiba memberi petuah kepadaku. “Wahai anak muda, pergilah kau ke tengah hutan. Datangilah hutan itu setiap hari selagi kau belum menemukan sesuatu yang merubah hidupmu. Pergilah kesana, maka kau akan menemukan jati dirimu.” Dan tiba-tiba pak tua tersebut menghilang dan akupun terkejut dan langsung terbangun.
          Fajar telah mengintip di balik jeruji safana. Matahari seakan masih malu untuk menunjukkan semburat merahnya. Burung pagi berkicau kesana kemari kian menunjukkan kasan pagi yang makin mendekati cerah. Tak ketinggalan, ayampun mulai mengobrak-abrik segala penjuru untuk sekadar mendapatkan cemilan pagi bagi dirinya dan anak-anaknya. Suasana semalam yang mencekam bagai hilang ditelan ombak dan berganti dengan suasana pagi yang cerah sebagai awal menjalani proses kehidupan yang kian hari kian menantang. Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi dan mengambil air wudlu. Langsung kutunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Tanpa sadar, pikiranku melayang pada petuah kakek tua dalam mimpiku. Segeraku meminta izin pada ibuku dan izin sudah kukantongi. Dan dengan bekal seadanya, kulangkahkan kakiku menuju hutan tersebut. Udara pagi masih menusuk diselaput kulit ariku. Bulu kudukku seakan berdiri, bukan karena setan, melainkan karena pori kulitku seakan yang ingin ambil bagian untuk menikmati udara pagi ini. Deretan pegunungan makin mempercantik panorama pagi ini. Kicauan burung dan katak seolah bersahutan untuk memberikan nuansa alami. Sungguh tenang jiwa ini. Bahkan terbersit benak mengapa orang-orang rela meninggalkan kampung ini demi perkotaan yang penuh dengan polusi. Jika alasan pekerjaan, bukankah disana lebih ekstrim. Tanpa kemampuan yang memadai,mereka nekad pergi ke kota dengan alasan mencari penghidupan yang layak. Mungkin juga banyak dari mereka yang lebih tragis hidupnya dibanding diriku. Bukankah mereka juga bisa memanfaatkan hasil alam dari hutan jati disini. Hah... sudahlah, itu urusan mereka.
          Sesampainya di hutan, kulihat batang-batang kayu dan dahan berjatuhan diatas daratan yang tak berdosa. Daun-daun tua berguguran seakan tak kuat lagi menahan terpaan angin semalam yang hendak meluluh lantakkan safana. Tiba-tiba terbersit niat untuk membawanya pulang. Kukumpulkan batang demi batang hingga terkumpullah ikatan simpul sebongkok kayu. Akhirnya kubawa pulang dan timbul niatan untuk membangun lagi sepetak gubuk tua dari kayu jati hasilku mencari di hutan.
“Ibu, jikalau ibu mengizinkan, aku akan membuat sepetak gubuk lagi di samping gubuk tua kita ini.” Pintaku pada ibu.
Baiklah Afnan anakku, lakukanlah sesuka hatimu. Tapi ingat pesan ibu, kau tak boleh mengambil lebih dari hutan itu. Ambillah sesuai kebutuhanmu. Jangan kau rakus pada alam, niscaya alam akan murka kepadamu.” Petuah ibu kepadaku.
 “Baiklah ibu,nasehatmu adalah penerang dalam hidupku. Afnan izin dulu bu!”
          Sedikit demi sedikit rekonstruksi bangunan rumahku mulai terlihat. Memang tak layak disebut sebagai rumah,melainkan hanya tempat untuk bersandar dari segala penat,tempat berteduh dari terik matahari dan hujan, serta pelindung dari serangan binatang buas. Hari demi hari ku lalui. Tetapi aku masih sibuk mencari reruntuhan dahan pohon yang berjatuhan ditempat usangnya daratan. Dan untuk memenuhi kebutuhanku dan ibuku, aku memancing ikan, dan hasilnya kumakan dengan ibuku. Itu sudah cukup bagi kami dari pada harus pergi keluar kota. Dan aku mulai sadar jika kita bersahabat dengan alam, niscaya alam akan bersahabat dengan kita. Selama berhari-hari itu pulalah aku tidak ingat sama sekali dengan kakek dalam mimpiku itu. Apa arti dari perkataannya, dan siapa yang dimaksud. Tapi aku tak berusaha mencari, aku tak terlalu penasaran dengan itu. Dan kini prioritas utamaku adalah bagaimana caranya agar aku secepatnya bisa menyelesaikan pembangunan gubuk baruku. Agar ibuku tak lagi menggigil kedinginan diwaktu malam. Tak lagi kebocoran jika hujan datang. Semua ini kulakukan hanyalah untuk ibuku seorang.
          Suatu ketika,seperti biasanya aku pergi ke hutan. Tak seperti biasanya. Aku merasakan hawa hangat menyelimuti ragaku. Makin dekat radiusnya, makin besar derajat suhu celcius yang kurasakan. Embun pagi yang dulu menenangkan jiwa bagi insan yang menghirupnya, kini bagai gas monooksida yang siap menggerogoti kerongkongan. Rasanya bagai setonggak debu amarah yang membunuh ketenangan kalbu. Fajar di ufuk timur yang dulu menunjukkan semburat orange alaminya, kini bagaikan tumpukan infra merah yang menyala dengan terangnya. Aku mulai curiga dengan keadaan itu. Kuamati dari dekat. Mendekat dan semakin mendekat. Terlihat truk-truk pengangkut kayu jati berusia puluhan tahun lalu mengangkut kayu jati yang tanpa daya pasrah dengan nasib berjejer-jejer bak gulungan molen. Kuterawang lebih jauh, terlihat sang ajudan yang dengan bangganya mengomandoni pasukan tikus-tikus jelata yang tanpa ampun membombardir hutan tersebut. Sekilas aku mencium bau bubuk mesiu yang siap ledak.
          Dasar manusia-manusia biadab. Setelah mengeksekusi dan meluluh lantakkan hutan jati tersebut, ledakan mesiu yang memekakkan telinga tedengar disegala penjuru. BUMMM......  seketika itu pulalah lagit yang semula masih sayu akibat matahari yang enggan muncul di pagi buta,menjadi merah bak semburan sang raja naga yang siap menerkam apapun dihadapannya. Dan ketika itu pulalah hutan jati bagai lautan api yang tanpa permisi melahap potongan-potongan batang jati yang masih menyerumbul di permukaan tanah. Biadab.... dasar manusia-manusia tanpa akal.
          Sejenak pikiranku melayang pada ibuku yang terbaring lemah di dipan usang. Lalu naluriku tersentak. Jiwaku tergoncang. Ingin rasanya aku di dekat ibu. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Dengan sekuat tenaga,aku berlari mangarungi lautan asap akibat ledakan tadi. Suara letupan api dan bau daun gosong mengiringi langkahku menuju kepangkuan sang bunda. Tak berbeda jauh denganku, burung-burungpun berhamburan seakan tahu maut telah membayanginya. Tak ku perhatikan sekelilingku,entah apa yang aku lewati. Pikiranku hanya terpusat pada ibu, ibu, dan ibu.
          Entah seberapa mil aku berlari mengarungi lautan asap itu. Entah berapa joule energi yang kuhabiskan. Akhirnya,sampai pulalah aku di gubuk tuaku. Seketika itu pulalah hatiku menjerit. Pikiranku memekikkan suara kalbu yang tak lagi bernada. Ribuan peluru bak memenuhi tiap rongga paru-paruku.
IBU.....................
          “Dasar manusia biadab, hewan kalian.... !”.
Kulihat gubuk tuaku telah luluh lantak akibat kobaran api yang menjilat. Kini tinggal puing-puing sejarah yang meninggalkan bekas yang membuktikan bahwa aku pernah tinggal disini. Kucari ibuku. Tapi tak kutemui. Ku panggil namanya, tapi tak ada sahutan. Yang ada hanyalah sahutan daun terbakar di sisi rumah. Bagaimana tidak, gubukku hanya terbuat dari dahan bekas yang kutemui di hutan. Sekali sulut semua langsung ludes. Aku menemukan kursi roda yang biasanya digunakan ibuku. Kini tinggal puing. Kucari ibuku, tapi tak kutemui, yang ada hanyalah cincin emas yang tergeletak didekat kursi tersebut. Kuamati,tercium bau gosong daging. Aku berspekulasi jika itu adalah ibuku. Ya tuhan... dia ibuku... kukumpulkan sisa-sisa tulang beliau. Aku memendamnya didekat gubuk tuaku.
          Aku tak terima. Akupun mendatangi ajudan tadi yang kebetulan masih ada di tempat aku melihatnya. Aku datang padanya dengan muka tak berbentuk.
“Wahai bangsa kera, tidakkah kalian punya naluri kemanusiaan. Dasar biadab”. Suaraku dengan lantangnya menantang sang ajudan.
“Wahai anak muda, berani sekali kau berkata seperti itu pada kami. Siapa kau hingga berani-beraninya berkata seperti itu pada kami”.
“Anda tak perlu tahu siapa saya. Yang perlu anda ketahui, diseberang sana tempat gubuk saya berdiri, telah anda kotori dengan tangan jahil anda. Yang lebih membuatku tak terima adalah ibuku, keluargaku satu-satunya yang kau bakar hingga kini tak berbekas”. Suaraku parau ditengah isak tangisku.
“Oooo... jadi hanya masalah seperti itu yang kau ajukan pada kami. Heh,bocah tengil. Kami bukan dukun yang bisa menghidupkan kembali emakmu. Kalau memang sudah waktunya mati ya mati. Entah lewat jalan apa itu. Jadi jangan salahkan kami. Kami disini juga butuh penghidupan bung!” jawabnya yang makin membuatku naik darah.
“Jika memang seperti itu, maka matilah yang kalian pilih.” Ancamku.
Dengan berbekal parang yang sejak tadi tergenggam ditanganku, aku berusaha menyerobot untuk menusuk perutnya yang besar bagai alat drumb band yang siap main. Akan tetapi sebelum semuanya kulakukan, dadaku bagai terkena tancapan parang yang kubawa tadi. Akan tetapi parang masih ditangan. Kulihat dadaku, sebutir peluru menusukku. Pandangankupun kabur. Darah mengucur dengan derasnya dibajuku. Rasanya kaki ini tak kuat lagi menopang berat tubuhku yang tak terlalu gendut. Akhirnya dunia ini bagaikan selimut safana yang menaungi lembah kehidupanku. Suara angin surga telah terbisik ditelingaku. Aku melihat bayangan ibu di udara. Seakan mengajakku untuk ikut dengannya. Baiklah ibu, aku ikut denganmu. Aku tak peduli lagi dengan manusia biadab ini. Biarlah tuhan yang membalasnya. Sebelum aku tutup mataku yang terakhir kalinya, aku sempat mendengar gelegar tawa mereka melihatku tersungkur tak berdaya di tanah. Dengan senyum tersungging di bibir aku meninggalkan dunia ini dengan penuh ketenangan.
Asyhadu allaa ilaa ha illallah……. Wa asyhadu anna muhammadar rosuulullah…..
 Selamat tinggal …..
MAN Tambakberas Jombang