Hadiah dari Langit
Roudlotul Dzihni
MAN Tambakberas Jombang
Andai hidup
hanya bermodalkan setangkai mawar untuk memarodikan lencana kehidupan, pasti akan banyak darah tercecer dari duri mawar itu. Andai hidup menawarkan esensial untuk saling
menebarkan kebaikan, tak akan ada raungan hati yang merumuskan
material kesedihan.
***
“Mas itu egois, nggak
pernah mau mikirin keluarga. Pergi
malam, pulang malam. Aku sudah capek Mas!”
Celotehan Ibu rupanya langsung merangkak sampai
oktaf ke delapan. Mata Ayah yang
beringas kian menunjukkan murkanya pada wanita berkaca mata itu.
“Dasar wanita
tak tahu diuntung. Kurang apa aku selama ini menafkahi kau dan anakmu itu. Apa
itu tidak cukup membuatmu puas?”
Ayah pun tak kalah murkanya dengan Ibu. Sebuah
tamparan keras sepertinya mendarat di pipi ibu yang mulus. Bau arak masih
terasa kental di mulut ayah.
Ayah memang
bukan seorang pekerja kasaran seperti kebanyakan pemabuk lainnya. Ayah adalah
seorang direktur sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Aku menyayanginya. Sejak
dua bulan lalu ayahku berubah drastis. Ayahku menjadi seorang pemabuk. Sering
keluar malam. Tak pernah mencium pipiku. Tak pernah menanyakan bagaimana
skripsiku. Aku rindu ayah yang dulu.
Sambil
memegangi pipinya yang kesakitan, sebuah kalimat mengejutkan keluar dari bibir
manis ibu.
“Ceraikan aku!”
Kalimat itu
cukup membuat semuanya jelas. Ibu menghamburkan semuanya. Kini ibu telah naik
ke tangga yang paling klimaks. Aku tahu ibu, sekali naik, mustahil rasanya untuk
kembali meluncur ke dasar. Itu berarti, kalimat itu, tak mungkin ibu cabut.
Mata ayah yang
beringas, walaupun tak ditunjukkan secara penuh, aku tahu bahwa ia kaget
mendengar permintaan ibu yang satu ini. Namun, aku juga tahu ayah. Harga
dirilah yang paling diutamakan.
“Kalau itu yang
kamu inginkan, baik. Aku ceraikan kamu. Aku ceraikan kamu. Aku ceraikan kamu.”
Ayah tak mau harga dirinya sebagai lelaki
terlecehkan. Talak tiga telah jatuh. Secara hukum Indonesia mereka memang belum
sah bercerai. Namun, bagaimana dengan hukum agama? Sekarang, mereka sudah
menjadi orang lain.
Kali ini aku
mempercayai satu hal. Satu kalimat yang membukakan cakrawala aurora batinku.
Melapangkan zenith dan nadir yang selama ini bersembunyi di atas nirwana.
Meruntuhkan dalil almanak yang tak lagi bersorban.
Ya, hidup
memang tak sekompleks teori Darwin.
***
Halimun
pagi masih menunjukkan semburat merahnya. Sang Jago masih mengais makanan untuk
sekadar mendapatkan cemilan di pagi yang masih buta. Aku tak mau kalah dengan
ayam. Mata yang masih memohon untuk terpejam, kupaksa untuk terbuka. Sepucuk
surat terlihat menggantung di almari Spongebob ku. Aku pun mendekatinya.
“Surat
dari ibu? Ibu ada-ada saja,” gumamku sambil setengah sadar.
Maafkan ibu nak. Ibu harus pergi. Kamu baik-baik dengan ayah, di rumah.
Apa-apaan
ini? Inikah jawaban dari pertengkaran hebat tadi malam?. Dengan mengorbankanku
tanpa status. Membiarkanku teronta-ronta. Ibu, kau jahat kali ini. Ayah, kau egois.
Aku membenci hari ini. Tapi, bagaimanapun aku membenci hari ini, aku harus
menuntaskan kewajibanku. Pagi ini, masa depan akan aku tentukan. Sebuah
semangatlah yang aku butuhkan kali ini. Percaya pada kemampuan yang harus ku
lakukan. Ya, aku akan skripsi hari ini.
Kalau sudah
begini, di dada siapa aku bisa menaruh rasa bangga. Haruskah aku memeluk embun
pagi ini sebagaimana ia memeluk daun cemara yang kian merunduk?.
***
Akan kutunjukkan padamu bagaimana kesuksesanku kali ini.
“ Great.
Excellent”
Kudapati dua kata yang selama ini kuharapakan. Sang
pengujiku berkata demikian karena menganggap semua makalahku hebat. Seorang
lelaki muda berhidung mancung berdiri di samping pengujiku. Mungkin ia
asistennya. Di balik kegiranganku, aku kagum dengan sosok di depanku itu. Dia
muda, tampan, berbakat.
“Ra, aku dapet
excellent skripsiku kali ini. Aku seneng banget nih Ra”
Sebuah lonjakan kegirangan kutunjukkan kepada
sahabatku, Ayra.
“Waw.. kau
hebat Milza, sepanjang sejarah di Fakultas Sastra jarang lho yang bisa
dapet Great.”
Ayra menunjukkan rasa bangganya kepadaku.
Pastinya ditemani snack keju yang setia menemaninya sepanjang waktu.
***
“Kring..
Kring..” sebuah nomor tak ku kenal memanggil. 085730645xxx. Aku
mengangkatnya. Belum sempat bicara sepatah kata pun, suara seorang lelaki
menggaung merdu.
“Selamat ya
atas keberhasilanmu, Milza. Aku telah melihat makalahmu. Menakjubkan. ”
Tut…
Tut… Tut…
Tanpa permisi
suara itu menghilang. Aku bingung. Dia menyebut Milza, namaku. Dia bilang telah
melihat makalahku. Itu berarti, dia adalah pengujiku atau asisten pengujiku. Namun,
tidak mungkin itu terjadi. Mana mungkin seorang penguji bisa menelepon
mahasiswanya? Mungkin, tadi hanya orang iseng.
Sesampainya di
kantin. Aku bercerita kepada Ayra. Penelepon misterius.
“Misterius bagaimana Za?” sahutnya dengan
menyeruput es kelapa muda di depannya.
“Iya, misterius.
Dia tahu namaku. Dia juga mengatakan kalau makalahku menakjubkan. Sungguh
aneh.”
Aku pun
kemudian menceritakan tentang asisten pengujiku. Ayra penasaran dengan semua
ini. Ia akan menyelidiki kasusku. Gayanya bak Sherlock Homes yang kehausan mencari
mangsa atau kisah film gadis cantik, Nancy Drew yang tak pernah kehabisan
ide-ide brilian untuk mengungkap kasus.
Ayra bukan
salah satu dari keduanya. Sama sekali bukan. Bahkan, ia terlihat seperti
monster wanita yang menginginkan tumbal lelaki tampan setelah aku menceritakan
lelaki itu kepadanya. Ayra memang payah. Satu lagi yang harus kau ketahui, dia
tak mungkin serajin itu. Dengan gayanya yang sok menyelidiku kasusku, mungkin
dia mulai merengek untuk membujukku membelikan Pop Corn untuknya.
***
Sebuah pesan
singkat masuk di telepon gengamku.
Jika
kamu ingin tahu aku, temui aku di taman pukul tiga sore hari ini.
Keringat
dingin mengucur dengan derasnya. Nomor yang tertera pada pesan singkat itu sama
dengan seseorang misterius yang menelponku waktu itu. Sebuah ironi yang
mengoyak asa dalam intensitas tinggi. Bak Dewa Neptunus yang turun ke Nadir
kutub utara. Gila. Namun, jika aku ingin mengetahui orangnya. Aku harus
menemuinya..
***
Langkah sok
tenang aku terapkan kali ini. Sosok bayangan yang duduk di bangku taman memaksa
naluriku untuk menemuinya. Dari kejauhan, aku seperti mengenalnya. Seseorang
yang tidak asing lagi. Tidak salah lagi. Dialah sosok yang kuduga sebagai
asisten pengujiku itu. Mungkinkah itu dia yang mengundangku kemari?. Aku
mendekatinya. Tapi tidak sampai aku berkata apapun, dia menyapaku terlebih
dahulu.
“Assalamualaikum!”
Sebuah senyuman menenangkan nan menghanyutkan
hadir dalam bibir tipisnya. Lekukan wajah yang ikhlas kian membuatnya memesona.
“Waalaikumsalam!”
Aku membalas
dengan senyuman pula. Sebuah keheningan terjadi beberapa saat. Perasaan yang
tak kupunyai sebelumnya, kini hadir begitu saja tanpa persetujuanku. Ketika aku
memandanag wajahnya, bak elektromagnetik yang menyeruak di selubung hatiku. Bak
Hukum Boyle yang menentang teori reformasi. Bak Archimedes dengan angkuhnya
membenarkan diri. Aku benar-benar terhanyut di tangga pelangi. Benar-benar
menyilami Sungai Nil.
Tuhan, akankah
engkau marah jika aku memiliki perasaan yang tak seharusnya. Apakah aku berdosa
jika aku mengagumi sosok di depanku ini. Tuhan aku ingin kau menghancurkan
lantai waktu. Membuat segalanya lebih indah.
“Milza. Sudah
datang dari tadi ya?” dia bertanya dengan santai.
“Tidak, ini
baru saja datang. Oh ya Pak, Bapak sedang apa di sini?” sahutku dengan
gaya formal yang kian membuatku geli.
“Ini ada
titipan dari ayah. Maksudku dosen pengujimu,” tukasnya sembari menyodorkan
amplop coklat kepadaku.
“Dosen
pengujiku adalah ayahmu?” tanyaku kaget.
Ia mengangguk
sambil tersenyum. Ada debaran di hatiku saat melihat senyum itu.
Sebuah kepalan
optimistis refleks kulakukan. Kami memperbincangkan banyak hal kali ini. Ia pun
memperkenalkan namanya. Farhan. Entah ada hukum apa yang membuat kami serasa
sudah mengenal lama. Mungkin Farhan orang yang mudah bergaul. Sebuah getaran
beramplitudo tinggi merayap dengan Archimedes yang angkuh. Aku terheran ketika
bertemu orangnya. Aku mengingat kembali kalimat-kalimat dalam pesannya. Ia
terlihat begitu puitis. Akan tetapi, tak sedikit pun kesan itu terlihat tatkala
aku berbincang dengannya. Bahkan, ia terlihat sangat humoris. Dasar lelaki
aneh. Dia seakan mempunyai dua sisi kepribadian.
Sebuah
perkenalan yang sederhana. Mungkin bisa dilakukan oleh siapa pun. Melalui
pertemuan antara dua pasang mata yang tak sengaja. Saling berpandangan walaupun
dalam balutan frekuensi yang amat rendah. Bahkan bisa dikatakan tidak berelektromagnetik sedikit pun.
Pertemuan kita
waktu itu, bak menentang teori J.J. Rutherford yang menyatakan atom positif dan
negatif jika bertemu akan saling tarik-menarik. Sayangnya, tak sedikit pun itu
terjadi padaku kala itu. Kecuali sebuah kata kagum pada Farhan.
***
Temaram rupanya
menyelimuti senja yang melankolis. Temaram yang tak bersahabat dengan senja
kali ini. Dengan bermodalkan secangkir teh hangat dan sepiring pisang goreng
favorit, aku duduk di balkon rumah. Bayangan ibu seakan hadir menemaniku.
Membelai lembut rambutku. Menyanyikan lagu jadul Hitam Putih Foto kesukaan ibu. Satu kebiasaan aneh yang sering
kali dilakukan ibu untukku.
Foto ibu
terbingkai dengan indah di kamarku. Sebuah bingkai raksasa yang dengan
angkuhnya melindungi potret diri ibu yang kian menunjukkan kalau ibu adalah
wanita bangsawan. Pikiranku menjalar ke masa silam. Rasa rindu telah tergali
sangat dalam di ulu hatiku. Bagai kuda liar yang kian mengamuk di dera lecutan
senapan. Kenangan indah tentang ibu kini hadir kian memaksaku untuk
mengingatnya lebih dalam. Ibu, Milza kangen ibu. Milza ingin ibu ada disini.
Sebuah aliran sungai kecil hadir di sela-sela kelopak mata yang kini makin deras.
Makin lama makin deras. Kian membanjiri pipiku. Kali ini, aku membiarkannya
mengalir. Tanpa ada bendungan tissue ataupun yang lain yang mampu
menghalanginya.
Kubuka
album biru.
Penuh
debu dan usang.
….
Ohh
bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku.
***
Toga telah membalut anggun diriku. Kebaya dengan elegannya
melingkar manis di kaki kecilku. Aku melihat diriku di kaca. Sempurna. Aku
memandangi foto ibu yang tersenyum ke arahku. Seakan ibu tahu bagaimana
perasaanku kali ini. Aku berpamitan pada ibu. Meminta doanya. Ku kecup foto
ibu. Sebuah aliran anak sungai bengawan solo mengalir dengan pelan.
“Milza.. ayo
lah nak. Nanti kita terlambat. Ayah sudah siap ini.”
Seru ayah
dengan sedikit teriak.
“Iya ayah.
Tunggu sebentar,” sahutku kemudian.
Hanya seorang
ayah yang menemaniku. Kini ayah bukanlah seorang pemabuk. Bukan seorang yang
pulang malam. Rona muka ayah kali ini terlihat berbeda ketika turun dari mobil.
“Andai ibumu
ada di sini nak!” suara ayah sedikit mendesah.
“Sudahlah ayah,
Milza sudah cukup bahagia melihat ayah berubah seperti ini,” jawabku melunakkan
hati ayah. Walaupun sebenarnya perasaan yang ayah miliki juga menderaku.
Tangan ayah
memegang erat tanganku. Aku memahami gelagat ayah. Mungkin ayah mencoba menguatkanku. Wisuda berlangsung
lancar. Sebuah moment yang paling ditunggu-tunggu. Tidak lain adalah pengumuman
wisudawan terbaik. Aku mendengar dengan seksama.
“Wisudawan
terbaik dari jurusan Sastra dan Bahasa adalah….”
Suara sang MC
menggelegar dengan angkuhnya.
“Milza
Fithrotun Naja…”
Itu namaku. Itu
namaku. Dengarlah dunia. Hari ini aku menyandang gelar wisuda. Lebih dari itu.
Aku mendapat gelar wisudawan terbaik di jurusanku. Sebuah sorakan dari segala
penjuru mengaung dengan indahnya. Bak rangkaian simphoni alami yang
menghasilkan getar-getar semangat membara. Aku pun diminta naik ke panggung
untuk menerima penghargaan.
Sebuah
bingkisan berwarna coklat aku terima dari pengujiku yang tidak lain adalah ayah
Farhan. Aku melihat ayah memandangiku dengan perasaan haru. Dari sorot matanya
terlihat bahwa ia sangat bangga denganku. Mata ayah berkaca-kaca. Sebuah
lambaian kecil mengayun dari tangannya. Aku pun membalasnya dengan lambaian
kecil pula. Tak hanya itu, ia menambahkan acungan dua jempol untukku.
“Terima kasih atas penghargaan ini. Semua ini
saya persembahkan untuk ayah saya yang ada di sana.”
Ayah pun
berdiri dengan matanya yang berbinar. Raut bangga begitu kentara di garis-garis
wajah ayah.
“Juga untuk ibu
saya yang tercinta. Semoga beliau sehat di sana,” lanjutku dengan suara sedikit bergetar.
Aku melihat
Farhan berdiri di pojok sana. Ketika mata kami saling bertemu, ia juga
mengacungkan dua jempol untukku. Di tambah dengan kepalan semangat yang kian
membuatku membumbung di udara dan senyuman manis yang sering kali tersungging
di bibirnya. Prosesi wisuda berakhir. Sebelum masuk mobil, ayah mendekatkan
mulutnya ke telingaku.
“Selamat ya
nak, engkau memang paling bisa membuat ayah bangga. Terima kasih”
***
Sesampai
dirumah, perasaan senang masih menyelimuti kalbu. Sebuah panggilan masuk
diiringi lagu Hidup Berawal dari Mimpi karya Bondan Prakoso mengiringi
panggilan itu. Nomor yang asing.
“Halo, siapa
ya?” tanyaku.
Suara isak
tangis wanita menderu. Sepertinya aku kenal dengan suara ini.
“Selamat ya Nak.
Kamu memang paling bisa membuat ibu bangga!”
Kalimat yang
sama dengan ayah ketika ayahku memberi
selamat. Siapakah wanita ini. Perasaan gundah mulai berkecamuk. Batinku
berkata lain. Aku mencoba menguatkan diri. Foto ibu yang berada tepat di
depanku seakan memberikan isyarat bahwa yang berbicara adalah ibu.
“Iya terima
kasih bu. Tapi apa yang membuat anda menangis seperti ini. Lalu, Anda itu
siapa?” tanyaku padanya.
“Ini ibu nak!” Deg.
Benar. Inilah suara perempuan yang selama ini aku rindukan. Ibu. Kini aku
berbicara dengannya. Kehangatan tutur katanya. Kesetiaan dalam menjagaku.
Menentramkan jiwa yang lelah. Bertatap muka dengan sang Maha ketika aku dan
ayah terlelap. Melantunkan ayat-ayat Tuhan di saat tetangga masih bermimpi.
Menyiapkan bekal untukku agar tidak jajan sembarangan. Mencium keningku ketika
aku akan meninggalkan rumah.
Menunggu hingga aku pulang. Selalu
mempersilahkanku untuk meminjam bahunya sejenak unutk menghilangkan dahaga. Wanita
yang terkokoh ketika aku butuh sandaran hingga menghantarkanku sampai di sini.
Hening terjadi
beberapa saat. Getaran-getaran kami bersatu kembali setelah lebih dari satu
tahun kami tak tahu kabar. Aku sangat rindu ibu. Rindu belaian kasihnya. Lantai
waktu benar-benar runtuh kali ini. Zenith dan Nadir bak tak lagi bersatu
membentuk spektrum aurora. Amazon bak tak mengalir kembali. Anaconda pun seakan
melilit kehilangan mangsa.
Kami pun saling
melepas rasa rindu yang membara dengan isakan tangis yang semakin menderu. Kami
bagai tercebur di Lubang Buaya kali ini.
Hanya
tangisanlah yang mampu keluar dari mulut kami. Sebelum kami bersamaan mengucap
kata.
“Aku
merindukanmu!”
Aku merasa ini
hadiah langit. Untukku yang masih setia memegang ajaran langit. Tidak menyerah
pada hidup. Hidup yang terkadang menabur duri. Satu kata untuk selamanya. satu kata yang telah mengandung jiwa. Satu kata yang tak akan terlupa. Inilah. HIDUP
***